Senin, 25 November 2013

Mulutmu, Harimaumu


Akhir-akhir ini cukup heboh dengan berita perseteruan antara sang pengacara dengan 2 anak seorang musisi terkenal. kebetulan aku yang juga menonton acara hitam putih saat 2 anak ABG ini  menantang tinju sang pengacara. Aku cukup kaget dengar tantangan ini. Pasti ini akan heboh. Dan benar saja keesokkan harinya sang pengacara sudah mengomentari tentang tantangan anak remaja ini.
Ya.. benar apa kata sang ABG ini, tak ada akibat jika tak ada sebabnya. Kedua anak ABG ini mungkin tak akan menantang si pengacara jika si pengacara ini tidak berkomentar pedas ke ayahnya. Ya.. setiap orang pasti tahu sang pengacara ini. Suami penyanyi era 80an ini memang senang berkicau pedas di twitter. Orang-orang ternama yang tidak sesuai dengan hatinya pasti akan dia komentari. Sebut saja pak Ahok (wagub Jakarta), Deddy Corbuzier, Rhoma Irama bahkan penyanyi senior Iwan Fals pernah dikomentarinya.
Seperti kata pepatah mulutmu, harimaumu. Itu mungkin yang tepat untuk sang pengacara ini. Dengan kicauannya di twitter masyarakat akan tahu siapa dia sesungguhnya. Menurutku dia orang yang senang kritik orang lain tapi tak senang jika dirinya dikritik. Kata Coboy Junior, ngaca dulu dong !! Terus terang aku cukup gerah dengan dengan sikap-sikap sang pengacara ini, dia mencerminkan orang yang otoriter. Pendidikannya yang tinggi tak membawa perkataan seorang kaum terpelajar. Jika dia tak suka dengan sikap/perilaku orang lebih baik diutarakan dengan bahasa yang sopan, tidak menjelek-jelekkan orang itu. Atau dia bisa membuat sebuah kritikan lewat opini atau artikel di koran nasional. Lebih elegan kan.
Dalam kasus sang pengacara vs 2 anak ABG. Bukannya membela si anak ABG ini. Anak ini juga masih perlu dibimbing jika menantang orang tua juga tindakan yang kurang terpuji. Namun jika dilihat dari umur, pengalaman dan pendidikannya seharusnya sang pengacara lah yang perlu mengalah. Mungkin dapat dimaklumi jika anak ABG ini marah jika ayahnya terus diolok-olok. Karena mereka ingin membela harga diri keluarganya. Mereka juga masih remaja, fisik masih kuat dan emosinya juga belum stabil. Namun jika sang pengacara ini juga cukup marah dengan tindakan anak ABG ini. Siapa yang pantas disebut childish, sang pangacara kah atau anak ABG ini ???
Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Dalam kejadian ini dapat diambil pelajaran bahwa setiap manusia perlu menjaga lesannya. Lisan (lidah) memang tak bertulang, sekali kita gerakkan sulit untuk kembali pada posisi semula. Demikian berbahayanya lisan, hingga Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menggunakannya. Allah Swt telah memerintahkan kita semua untuk berkata yang benar, seperti tertulis dalam firmanNya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70). Rasulullah bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari).
            Selain itu, kita juga perlu tahu tentang etika berkomentar di media sosial. Cobalah lihat sesekali komentar-komentar yang ada di hampir setiap berita yang ‘panas’, pasti banyak sekali komentar-komentar pedas yang tidak hanya mengiris telinga, namun juga mengusik hati nurani. Keadaban di negara ini mungkin sedang terancam bahaya —kita masih berharap aku terlalu berlebihan memilih kata-kata ini. Meski kita sangat yakin masih banyak orang-orang di negara ini yang memiliki nilai-nilai luhur yang diajarkan di setiap agama yang dianutnya.
Kita  masih berharap orang-orang yang lupa etiket itu hanya sebagian kecil saja dari 240 juta jiwa di Indonesia. Karena sebagai warga Indonesia, tentu saja kita mempunyai impian besar dan cita-cita tinggi bahwa negara Indonesia akan menjadi negara yang adil-makmur dalam beberapa tahun mendatang. Bahwa bangsa Indonesia akan menjadi  bangsa yang beradab. Karena kita mesti  percaya, bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab.

Jumat, 15 November 2013

Alhamdullillah, Cernakku (mungkin) Dimuat di Solopos Minggu


Minggu
Siang itu tanggal 31 Oktober 2013, ada sebuah kertas tergeletak manis di depan pintu masuk rumah. Aihh.. kertas apa gerangan itu? Kok kecil kayak kertas kuitansi. Aku baca dengan seksama. Ah.. sebuah wesel. Disitu tertulis juga namaku. Hore.. aku dapat wesel. Tapi siapa yang kirim wesel ya ??? Hari gini masih kirim wesel, transfer uang lewat bank kek. He.. he.. kubaca siapa pengirim wesel ini. Dan ternyata dari harian Solopos. Kuingat-ingat lagi.. ya.. sekitar bulan April lalu aku kirim cerita anak (cernak) ke Solopos. Berarti cernakku dimuat dong. Alhamdulllilah.... Ini adalah pertama kali tulisanku dimuat di media cetak. Setelah lama tidak kirim cerita. Terakhir kirim cerita di majalah Gadis pas waktu SMA.
Karena sudah mendapat honor, maka aku penasaran di koran Solopos tanggal berapa ya tulsanku dimuat. Kemudian aku hunting ke perpus kota cari-cari koran Solopos Minggu edisi lalu. Ya koran Solopos memang ada tapi tak menemukan cernakku. Kebetulan Solopos yang ada hanya edisi dalam satu minggu terakhir. Mungkin cernakku sudah lama dimuat jadi Solopos edisi lama yang di perpus mungkin sudah tersimpan di gudang. Aku tak nyerah, aku coba hunting lagi lewat internet, siapa tahu bisa baca e-paper Solopos yang edisi lampau tapi... ternyata sulit. Jika ingin baca e-paper harus langganan dulu. Hasilnya nihil. Ya sudah.. Dan sampai detik ini aku tak tahu edisi Solop0s tanggal berapa cernakku dimuat, yang penting aku yakin cernakku dimuat. Kan sudah dapat honor...
Ini adalah cernakku yang kukirim Ke Solopos Minggu

CITA-CITA LUNA
Oleh : N. Tri Lestari

            Sore itu, Luna masih terdiam di meja belajarnya. Luna mendapat tugas sekolah mengarang pendek dengan tema cita-cita. Namun Luna belum mengarang juga karena Luna belum tahu apa cita-citanya. Dulu waktu Luna masih TK, Bu guru Luna pernah meminta murid-muridnya satu persatu menceritakan tentang cita-cita nanti kalau sudah besar.
            “ Sekarang giliran Luna. Apa cita-citamu, Nak ?” tanya bu guru.
            “ Aku ingin menjadi penjual nasi goreng Bu guru !”  jawab Luna dengan mantap.
            Ha.. ha.. ha.. Seketika teman-teman satu kelas menertawakan jawaban Luna.  Luna malu sekali. Luna tak menyangka akan ditertawakan teman-temannya. Sebenarnya  alasan Luna ingin jadi penjual nasi goreng karena tak jauh dari rumah Luna  ada warung  nasi goreng. Nasi gorengnya enak sekali dan banyak pembelinya. Maka dalam pikiran Luna pasti penjual nasi goreng  banyak uangnya dan tiap hari bisa makan nasi goreng. Nasi goreng memang makanan favorit Luna.  Sejak kejadian di TK dulu, Luna tidak suka jika ditanya tentang apa cita-citanya. Takut ditertawakan lagi. Luna masih berpikir-pikir tentang cita-cita namun belum ketemu juga. Kemudian Luna keluar kamar menemui bundanya yang sedang memasak di dapur.
 “ Bunda, cita-citaku apa ya ?”
“ Apa, Lun. Kamu tanya cita-citamu ke Bunda?” kata Bunda heran.
“ Iya. Kan ayah dan bunda yang menyekolahkan aku berarti aku ikut saja maunya keinginan bunda besok aku mau kerja di mana.”
“ Bukan begitu, Luna. Cita-citamu kamu sendiri yang menentukan. Ayah dan Bunda akan menyekolahkan Luna sesuai cita-citamu. Bunda tidak boleh memaksa.” ujar Bunda dengan bijak.
“ Tidak. Bunda saja yang menentukan cita-citaku. Aku bingung.” Luna mulai memaksa.
“ Luna, Bunda beri contoh ya. Umpama Luna  ingin jadi dokter maka Bunda memasukkan Luna ke sekolah kedokteran. Atau Luna lihat sendiri kakakmu, mas Indra. Mas Indra ingin sekali kerja di pengadilan maka sekarang mas Indra belajar di sekolah hukum. Luna mengerti ?” jelas Bunda.
Luna mengangguk.
“ Ya sudah kalau begitu Luna pengen jadi dokter saja,” gumam Luna.
“ Mengapa Luna pengen jadi dokter ?” tanya Bunda ingin tahu alasan Luna.
“ Iya. Pekerjaan dokter kan menyembuhkan orang sakit. Berarti dokter itu pekerjaan mulia karena dapat menolong orang lain. Betul kan, Bunda.”
“ Iya Luna betul. Tapi.. beneran nih Luna pengen jadi dokter ?” goda Bunda. Bunda tahu Luna sangat takut darah dan disuntik.
“ Kenapa Bunda tanya begitu?”
            “ Ingat tidak kejadian kemarin.  Waktu temanmu Asti jatuh dari sepeda. Luna tidak langsung menolong Asti kan. Luna malah lari menjerit.”
“ Ah, Bunda. Bikin Luna malu saja.” Wajah Luna memerah. “Darah yang keluar dari kaki Asti banyak banget. Luna takut.”  Kemudian Luna memikir ulang keinginannya menjadi dokter. Masak dokter takut sama darah. Lalu apa cita-citaku, batin Luna. Luna bingung lagi.
Bunda merasa kasihan Luna tampak murung memikirkan cita-citanya. “ Ya sudah. Luna pikir lagi cita-citamu. Bunda memberi kebebasan Luna mempunyai cita-cita asal cita-cita itu baik. Cita-cita yang baik dapat  kira raih asalkan kita tetap belajar yang  rajin dan jangan lupa berdoa. “ Begitu nasehat Bunda.
“ Luna, Bunda belum selesai memasaknya. Kamu belajar lagi di kamar,  ya.” lanjut  bunda.
“ Iya, Bun.” Luna kemudian keluar dari dapur menuju kamarnya. Luna berpikir dan berpikir lagi cita-cita apa yang cocok untuknya. Satu menit. Dua menit. Aha ! Ketemu ! Aku ingin jadi guru saja seperti Bu Santi, batin Luna. Bu Santi adalah guru dan wali kelas di sekolah Luna. Luna senang melihat bu Santi mengajar. Bu Santi sabar dan perhatian kepada murid-muridnya. Dulu bu Santi pernah bilang dengan mengajar kita akan memberikan ilmu kita kepada orang lain yang belum mengerti. Bukankah membuat orang lain pintar juga membuat kita ingin terus belajar. Luna senang sekali, dia sudah menemukan cita-citanya.
“Bagaimana Luna sudah tahu cita-citamu ?” Tiba-tiba bunda masuk kamar Luna.
“ Sudah dong !” jawab Luna dengan bangga.
“ Bunda penasaran. Apa sih cita-cita Luna ?”
“ Rahasia.. ” kata Luna dengan lucu.
“ Luna... Luna... Sama Bunda kok main rahasia.” kata Bunda sambil mencubit gemas kedua  pipi Luna.
    
SELESAI








Kamis, 07 November 2013

Yuk Keep Smile !!!





Siapa yang menabur senyum
Dialah yang akan menuai cinta (A.H.)

          Memberi senyum adalah ibadah. Mungkin karena kalimat itu aku mencoba untuk tersenyum kepada orang lain. Ada yang bilang sedekah tidak hanya dengan memberi uang kepada kaum “yang berhak”. Jika engkau tak punya uang, engkau dapat memberi sedekah kepada saudaramu dengan sebuah senyuman yang tulus. Ah mudahnya bersedekah..

          Senyumlah.. Itulah lagu nasyid pertama yang aku suka. Sebuah lagu dari grup nasyid asal negri jiran ini, memberi makna pada diriku apa arti seyum. Senyum yang tulus seperti senyum yang dilakukan oleh Rasullulloh.

          Senyum.. Memang aku pernah berbahagia karena senyum. Amalan sederhana ini membuatku hidup lebih berarti. Kejadian ini saat pada suatu siang di masjid kampus. Setelah aku sholat dhuhur, aku duduk sejenak di pojok masjid. Tiba-tiba pada waktu aku duduk ada seorang wanita muda memandangku dan aku tak sengaja juga memandangnya. Dia tersenyum dan aku balas senyuman itu. Wanita muda itu duduk tidak jauh dariku,. Karena urusan di masjid ini telah selesai, aku beranjak dari dudukku. Aku berjalan melewati wanita muda itu. Aku sengaja menoleh ke arahnya. Dia juga melihatku. Kita sama-sama tersenyum lagi. Lalu aku turun tangga masjid dengan hati senang. Entahlah.. setelah senyuman itu hatiku bahagia sekali. Aku merasa telah melakukan sebuah kebaikan, hanya sebuah senyuman. Wow.. aku baru menyadari ternyata dashyat sekali energi senyum itu.
Ternyata benar kata orang bijak, jika kita melakukan hal kecil tapi dengan ikhlas dan tulus maka hati kita akan bahagia. Bukankah membuat orang lain senang hati kita juga ikut senang ??

          Kawan.. tetaplah engkau tersenyum walaupun hatimu sedang duka. Mulailah harimu dengan sebuah senyum. Insya Alloh hari-harimu akan indah.
Sudahkah engkau tersenyum hari ini ?? Seperti kata Caisar, Yuk keep smile.. !!!