Senin, 26 Agustus 2013

Yang Dulu, yang Sekarang


I
ni hanya sekedar oleh-oleh dari pergi “mudik” kemarin Sabtu (24/08). Sejak mbah putri meninggal, lama aku tak berkunjung ke Jenar.  Terakhir kalinya mungkin sekitar awal tahun 2011  saat ada acara peringatan 1000 hari simbah. Seperti biasanya rasanya ingin pergi ke Jenar dengan naik prameks. Secara naik prameks itu lumayan enak. Selain cepat sampai tujuan juga tidak ada pengamen. Soal dapat tempat duduk itu hanya bonus. Karena biasanya prameks memang rada banyak penumpang. Tapi.. apa daya setelah dari browsing dan tanya sana-sini tentang kabar jadual prameks sekarang. Akhirnya diputuskan tak jadi baik prameks. Dulu aku biasa naik prameks ke Jenar pergi pagi naik kereta jam 06.45 dan pulang kadang jam 3 sore atau jam 6 sore. Namun sejak prameks anjlog di Kalasan sekitar November 2012 jadual prameks ke Kutoarjo pun berubah dari 3 kali jadual dan sekarang hanya 2 kali jadual per harinya.  Dengan logika 2 kali jadual pastilah kereta akan lebih penuh lagi dan tiket pun harus pesan jauh dari jam pemberangkatan. Padahal dulu santai aja kita beli tiket 10 menit sebelum kereta datang.
        Dan  aku naik bis ke Jenar. Ku menuju ke terminal Giwangan.  Cukup lama juga aku tak naik bis. Aku masih ingat dulu terakhir aku naik bis sekitar Mei 2008 dengan almarhum bapak. Dan  kemarin  aku salah parkir motor, aku kebingungan di mana tempat bus mangkal. Setahuku dulu saat masuk, aku tak perlu naik tangga. Tapi kok sekitar masih sepi. Aku tak berani lewat selain ada tanda masuk ke atas.  Ya sudah lah ku naik tangga juga. Aku melewati agen-agen bis yang masih tutup. Oh.. ternyata bus mangkal cukup jauh dari parkiran d harus melewati ruang tunggu dan naik turun tangga. Cukup lumayan untuk olah raga pagi J. Tiket  bis memang tak beda jauh dengan harga prameks 10 ribu saja namun dengan naik bis ekonomi kita akan dapat “pemandangan” baru. Kita akan melihat berbagai macam orang dan berbagai macam pengamen. Belum lagi para pedagang asongan yang aneh-aneh mnawarkan dagangan. Para pengamen dan asongan mungkin standar yang ditawarkannya namun di saat perjalanan pulang ada sebuah pedagang asongan yang cukup unik. Ada pedagang (seorang bapak) yang menawarkan jeruk. Para penumpang ada yang diminta mencicipi jeruknya. Dia menawarkan 6 jeruk dengan harga 10 ribu saja. Dengan asumsi 6 jeruk itu beratnya sekitar 1 kilogram. Setelah dengan bahasa rayuan  namun tak kunjung penumpang pun yang beli. Akhirnya sang bapak menambahkan jumlah jeruk dengan 10 ribu dapat 7 jeruk. Tak ada yang beli juga jumlah jeruk ditambah lagi  10 ribu dapat 8 jeruk. Tak ada yang beli juga. Dan turun lagi 9 jeruk, 10 ribu. Akhirnya ada yang beli. Karena jeruknya masih banyak. Bapak itu menambahkan jumlah jeruk per 10 ribu. 10 jeruk.. 11 jeruk.. Mulai satu persatu ada penumpang yang beli. Dan terakhir 12 jeruk dengan harga 10 ribu. Setengah karung jeruk pun ludes. Di pasar Gamping sang bapak pun turun dengan senang. Ah.. cukup menarik pula strategi pedagang asongan ini. Mungkin ini trik lama namun bagiku baru kali ini aku melihat pemandangan seperti ini. Inilah nikmatnya naik kendaraan umum ekonomi. Kenyamanan mungkin tak diperoleh namun dengan adanya hiburan-hiburan kecil para pengamen dan pedagang asongan telah membuktikan inilah sesungguhnya rakyat kita. Rakyat kelas bawah dengan berbagai dinamikanya. Dengan bersama mereka kita akan merasakan bahwa kita juga rakyat biasa, bagian dari mereka.
        Kembali ke desa leluhurku, Jenar. Ternyata setelah beberapa tahun tak ke sana ternyata wajah Jenar masih seperti yang dulu. Tak ada yang berubah. Aku bahkan heran dengan desa ini. Mengapa sejak aku kecil sampai aku besar tak banyak yang berubah. Tapi ku memakluminya desa ini memang desa kecil agak jauh dari pusat kabupaten. Dan Purworejo juga bukan kota industri atau pun kota pendidikan. Wajarlah kota ini  kurang peningkatan. Beda jauh dengan Yogya tiap tahun pasti ada yang berubah. Yogya kini merupakan kota dengan banyak hotel. Jarak antar hotel pun tak begitu jauh  bahkan ada yang kurang dari satu kilometer sudah berdiri beberapa hotel. Selain hotel, Yogya pun merupakan kota dengan banyak berdiri ruko. Aku sempat heran maju sekali perkembangan kota Yogya. Tak masalah Yogya tambah modern namun masyarakatnya tetap adem ayem dan satu lagi semoga jalanan tak macet. Biarlah cukup hanya saat liburan saja kota Yogya akan macet.
            Inilah suatu perubahan, lain dulu lain sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar