I
|
ni hanya sekedar oleh-oleh dari
pergi “mudik” kemarin Sabtu (24/08). Sejak mbah putri meninggal, lama aku tak
berkunjung ke Jenar. Terakhir kalinya
mungkin sekitar awal tahun 2011 saat ada
acara peringatan 1000 hari simbah. Seperti biasanya rasanya ingin pergi ke Jenar
dengan naik prameks. Secara naik prameks itu lumayan enak. Selain cepat sampai
tujuan juga tidak ada pengamen. Soal dapat tempat duduk itu hanya bonus. Karena
biasanya prameks memang rada banyak penumpang. Tapi.. apa daya setelah dari browsing dan tanya sana-sini tentang
kabar jadual prameks sekarang. Akhirnya diputuskan tak jadi baik prameks. Dulu
aku biasa naik prameks ke Jenar pergi pagi naik kereta jam 06.45 dan pulang
kadang jam 3 sore atau jam 6 sore. Namun sejak prameks anjlog di Kalasan
sekitar November 2012 jadual prameks ke Kutoarjo pun berubah dari 3 kali jadual
dan sekarang hanya 2 kali jadual per harinya. Dengan logika 2 kali jadual pastilah kereta
akan lebih penuh lagi dan tiket pun harus pesan jauh dari jam pemberangkatan.
Padahal dulu santai aja kita beli tiket 10 menit sebelum kereta datang.
Dan
aku naik bis ke Jenar. Ku menuju ke terminal Giwangan. Cukup lama juga aku tak naik bis. Aku masih
ingat dulu terakhir aku naik bis sekitar Mei 2008 dengan almarhum bapak. Dan kemarin aku salah parkir motor, aku kebingungan di mana
tempat bus mangkal. Setahuku dulu saat masuk, aku tak perlu naik tangga. Tapi kok
sekitar masih sepi. Aku tak berani lewat selain ada tanda masuk ke atas. Ya sudah lah ku naik tangga juga. Aku
melewati agen-agen bis yang masih tutup. Oh.. ternyata bus mangkal cukup jauh
dari parkiran d harus melewati ruang tunggu dan naik turun tangga. Cukup lumayan
untuk olah raga pagi J.
Tiket bis memang tak beda jauh dengan
harga prameks 10 ribu saja namun dengan naik bis ekonomi kita akan dapat “pemandangan”
baru. Kita akan melihat berbagai macam orang dan berbagai macam pengamen. Belum
lagi para pedagang asongan yang aneh-aneh mnawarkan dagangan. Para pengamen dan
asongan mungkin standar yang ditawarkannya namun di saat perjalanan pulang ada
sebuah pedagang asongan yang cukup unik. Ada pedagang (seorang bapak) yang
menawarkan jeruk. Para penumpang ada yang diminta mencicipi jeruknya. Dia
menawarkan 6 jeruk dengan harga 10 ribu saja. Dengan asumsi 6 jeruk itu
beratnya sekitar 1 kilogram. Setelah dengan bahasa rayuan namun tak kunjung penumpang pun yang beli. Akhirnya
sang bapak menambahkan jumlah jeruk dengan 10 ribu dapat 7 jeruk. Tak ada yang
beli juga jumlah jeruk ditambah lagi 10
ribu dapat 8 jeruk. Tak ada yang beli juga. Dan turun lagi 9 jeruk, 10 ribu.
Akhirnya ada yang beli. Karena jeruknya masih banyak. Bapak itu menambahkan
jumlah jeruk per 10 ribu. 10 jeruk.. 11 jeruk.. Mulai satu persatu ada
penumpang yang beli. Dan terakhir 12 jeruk dengan harga 10 ribu. Setengah
karung jeruk pun ludes. Di pasar Gamping sang bapak pun turun dengan senang. Ah..
cukup menarik pula strategi pedagang asongan ini. Mungkin ini trik lama namun
bagiku baru kali ini aku melihat pemandangan seperti ini. Inilah nikmatnya naik
kendaraan umum ekonomi. Kenyamanan mungkin tak diperoleh namun dengan adanya
hiburan-hiburan kecil para pengamen dan pedagang asongan telah membuktikan
inilah sesungguhnya rakyat kita. Rakyat kelas bawah dengan berbagai
dinamikanya. Dengan bersama mereka kita akan merasakan bahwa kita juga rakyat
biasa, bagian dari mereka.
Kembali ke desa leluhurku, Jenar.
Ternyata setelah beberapa tahun tak ke sana ternyata wajah Jenar masih seperti
yang dulu. Tak ada yang berubah. Aku bahkan heran dengan desa ini. Mengapa
sejak aku kecil sampai aku besar tak banyak yang berubah. Tapi ku memakluminya
desa ini memang desa kecil agak jauh dari pusat kabupaten. Dan Purworejo juga
bukan kota industri atau pun kota pendidikan. Wajarlah kota ini kurang peningkatan. Beda jauh dengan Yogya
tiap tahun pasti ada yang berubah. Yogya kini merupakan kota dengan banyak hotel.
Jarak antar hotel pun tak begitu jauh bahkan ada yang kurang dari satu kilometer
sudah berdiri beberapa hotel. Selain hotel, Yogya pun merupakan kota dengan
banyak berdiri ruko. Aku sempat heran maju sekali perkembangan kota Yogya. Tak
masalah Yogya tambah modern namun masyarakatnya tetap adem ayem dan satu lagi
semoga jalanan tak macet. Biarlah cukup hanya saat liburan saja kota Yogya akan
macet.
Inilah suatu perubahan, lain dulu
lain sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar