Rabu, 19 Juni 2013

UMROH


Ada satu kejadian yang agak mengusik hati untuk aku ceritakan. Ada seorang ibu yang pulang dari umroh. Kebetulan si ibu ini adalah istri mantan ketua RT. Karena beliau seorang janda maka beliau berangkat umroh bersama anaknya. Sebelum berangkat umroh, si ibu ini berpamitan secara lesan di pengajian dan arisan. Jadilah para tetangga tahu kalau si ibu akan berangkat umroh pertengahan bulan. Dan yang membikin hati ini sedikit terganggu adalah saat si  ibu ini pulang umroh. Para tetangga yang lain (yang masih satu RT) berbondong-bondong mengunjungi si ibu. Mungkin maksud hati ingin mendengarkan cerita umrohnya dan sekalian tentunya mengharap oleh-oleh dari umroh. Namun kenyataan berkata lain saat berkunjung ke rumahnya, si ibu itu hanya menyuguhi tetangganya dengan air zamzam dan tontonan video saat ibu itu berada di Mekkah. Sebenarnya ada kurma di meja tamu tapi para tetangga tidak berani mengambilnya karena si ibu tersebut tidak mempersilahkan untuk menyantap kurma. Alhasil para tetangga pulang dengan tangan hampa. Harapan mereka untuk mendapat oleh-oleh sedikit pun tidak ada. Tetangga pun kecewa..
Mendengar cerita ini aku hanya tersenyum simpul. Mengapa ibadah selalu dibesar-besarkan. Umroh memang hanya ibadah sunnah bagi orang yang mampu. Aku tak habis mengerti mengapa para tetangga harus berbondong-bondong ke tempat orang yang pulang umroh layaknya seperti orang yang pulang naik haji. Di kampungku mungkin umroh adalah hal yang besar karena tak banyak orang yang bisa berangkat umroh. Ada beberapa tetangga yang pernah umroh namun tak seheboh ini. Mereka juga berangkat dengan diam-diam karena bagi mereka umroh bukan ibadah yang harus diumumkan. Namun satu orang mungkin beda dengan yang lain. Bagi si ibu itu mungkin umroh ini adalah ibadah yang bisa dilakukannya karena jika ibu akan naik haji akan menunggu waktu yang lama. Aku terkadang kurang sreg jika ada orang berangkat haji selalu dibesar-besarkan. Mungkin jika orang itu mampu mungkin tak masalah namun jika akan mengadakan pengajian besar-besaran untuk pamitan dan pulang haji. Namun jika yang berangkat itu hanya orang biasa saja, apakah acara pamitan perlu diadakan besar-besaran juga. Mengingat orang biasa ini perlu bersusah payah untuk menabung agar bisa naik haji. Namun pamitan haji adalah suatu tradisi. Jika ada satu tetangga naik haji maka orang sekampung akan mengantarkannya. Ah sudahlah, kita tidak mungkin menghentikan kebiasaan ini. Namun hanya kita pikirkan apakah perlu kita menghambur-hamburkan uang hanya untuk menjaga suatu ”tradisi”.  Karena maknanya ibadah hanya urusan kita dengan Alloh Swt.


Kamis, 13 Juni 2013

Banyuwangi (2)


S
etelah dua minggu tinggal di Kali Kempit kita pindah di daerah Kali Sepanjang. Daerah ini tak jauh beda dengan Kali Kempit. Di Kali Sepanjang ini kita masih mending tinggal di rumah salah satu karyawan PTPN. Situasi di Kali Sepanjang juga lebih enak. Dekat dengan rumah penduduk, ada warung kelontong buat sekedar beli cemilan dan ada warung baksonya juga. Namun karena kebun ini bermacam-macam tanaman maka kita juga sering berpindah-pindah kebun. Jika di Kali Kempit lebih banyak kakao namun di Kali Sepanjang juga ada pohon karet. Ke kebun karet dari tempat kost kami sangat jauh maka tiap hari pulang pergi kita harus ikut truk yang menuju ke kebun. Saat berangkat kita menumpang truk yang masih kosong namun saat pulang bak truk sudah terisi banyak kakao yang akan disetor ke pabrik.  Dan yang lebih menyenangkan saat naik truk, kita pernah duduk di atas kepala truk. Kita merasa yang paling tinggi. Ya setidaknya jika berpapasan dengan bus besar. Badan sudah terasa tergoncang tertiup angin pagi yang cukup besar. Untung tidak masuk angin. Dalam bayanganku, jikalau lengan kita terlentangkan. Ah, rasanya seperti adegan di film Titanic dimana Jack memegang tangan Rose di ujung kapal. Sayangnya saat itu tak ada Jack, kami hanya 4 cewek yang kesepian. Hiks..
Tinggal di kebun tak lepas dari cerita yang bikin bulu kuduk merinding. Saat kita berkunjung ke rumah salah satu mandor, ada rasa aneh yang di rasakan Cheche. Sepertinya rumah pak mandor ini rada angker. Dan yang bikin suasana tambah merinding ternyata ada anak cewek pak mandor yang rada kelainan. Dia hanya duduk melamun sendiri di pojok rumah. Pernah suatu kali kita diminta menginap di rumah itu supaya kita tidak perlu naik truk tiap pagi. Tapi buru-buru permintaan itu kita tolak. Atas pertimbangan banyak hal alias tidak mau menanggung resiko melihat hantu..
          Saat di Kali Sepanjang karena jenuh kita jalan-jalan ke kota. Saat itu hari Sabtu, kita jajan makan mie ayam. Dan setelah itu, saat hendak nunggu pulang ke kost. Kita duduk-duduk  di pinggir jalan sambil melihat bus-bus lewat. Banyak bus yang menuju ke Bali. Kitapun terbersit ingin pergi ke Bali. Suatu keinginan dari dulu yang belum tersampaikan. Kita modal nekad berhubung kita sudah sampai di kota dan bus ke Bali sudah ada di depan mata.  Secara kita tidak bawa apa-apa. Hanya uang seadanya dan baju hanya yang dipakai di badan. Atas pertimbangan itu, niat pun kita tolak. Akhirnya kita pulang ke kost. Rencana ke Bali gagal. Dan ternyata kita punya rencana namun tetap Tuhan lah yang menentukan. Di balik semuanya ada hikmah. Malamnya saat kita sedang nonton televisi ternyata ada berita up to date, malam itu terjadi bom Bali II. Kita menyimak televisi dengan terdiam dalam pikiran masing-masing. Aku sempat hampir menangis. Jikalau tadi siang kita jadi ke Bali. Mungkin kita akan terjebak di Bali. Kita sangat bersyukur ternyata kita masih dilindungi Alloh. Aku jadi teringat ortu. Mungkin ini doa-doa mereka. Memberi keselamatan untuk anak-anaknya.
          Detik-detik hari akan pulang ke Yogya kita ramai-ramai bersama kelompok Kali kempit piknik pergi ke pantai. Entahlah aku lupa nama pantainya. Kita nyewa mobil. Kita pergi bersama beberapa pemuda Kali kempit. Sepanjang jalan aku hanya melihat keluar. Ah ternyata di Banyuwangi ada swalayan juga dan toko-toko besar. Kami merasa seperti orang kampung. Kita yang biasa tiap hari hanya melihat pohon seperti kegirangan melihat kota. Padahal toko-toko di banyuwangi tak sebesar mall di yogya. Namun itu pun kami sudah senang.
Sebagai penutup, ada 2 kuliner di Banyuwangi yang baru pertama kali aku rasakan. Baru kali itu aku makan oseng-oseng daun pakis dan bakso juga lain di banyuwangi karena bakso di sana pake ketupat. Beda dengan bakso Bandung yang pakai taoge. Ya begitulah, lain kota lain juga baksonya. Namun ada yang kurang sangat kita balik ke Yogya. Kita lupa bawa kue bakiak. Kue ini adalah kue khas banyuwangi. Kita hanya bawa oleh-oleh teh buatan pabrik PTPN. 
Banyuwangi, entah kapan lagi bisa ke kota ini. Banyak yang belum dieksplore di Banyuwangi. Namun sebulan di banyuwangi telah banyak pengalaman yang kudapat.  Berkunjung ke daerah lain menjadi sebuah wacana untuk memperluas wawasan kita tentang daerah-daerah di Indonesia.
Semoga aku bisa mewujudkannya mengunjungi kota lain di Indonesia yang tercinta ini. Amin..

Selasa, 11 Juni 2013

Banyuwangi (1)


Pertama mendengar Kali Kempit, rasanya aneh. Kali Kempit merupakan salah satu daerah di Banyuwangi. Dan aku tak menyangka akan terdampar di Banyuwangi ini. Aku ke kota ini karena kebetulan waktu itu aku ikut pelatihan dan akhir dari pelatihan ini aku harus  magang di perkebunan daerah Banyuwangi. Aku tak begitu mengenal kota ini. Setauku, Banyuwangi ada di ujung timur propinsi Jawa Timur. Berbatasan laut dengan pulau Bali.

Setelah menempuh perjalanan naik bus Akas dari Yogya hampir 12 jam kita mampir dulu di Jember. Dari Jember kita naik lagi mobil menuju Banyuwangi. Siang itu hari Senin jam 14.00, kami sampai di Banyuwangi. Waktu itu hujan baru saja turun, tanah masih basah. Kami berempat Cheche, Nuning, Eko nur dan aku mampir dulu di kantor perkebunan Kali kempit. Setelah kami menghadap wakil pimpinan kebun kami diantar ke mess, tempat kami menginap. Kantor kebun memang terletak di pinggir jalan tapi mess kami letaknya jauh dari jalan. Perjalanan menuju mess kami melewati perumahan penduduk setelah itu kami hanya melewati lahan kosong yang sangat luas. Setelah itu baru kami melewati perkebunan kakao. Tibalah kami di mess. Mess kami sebenarnya tidak jauh dari rumah penduduk para buruh kebun dan rumah mandor besar tapi karena mess halamannya sangat luas makanya rasanya mess kami menyendiri.  Mess kami itu seperti rumah, ada 3 kamar, ada ruang tamu, ruang makan, kamar mandi dan dapur. Halaman rumahnya sangat indah karena banyak tanaman-tanaman hias. Jika aku keluar rumah, aku merasa mess kami seperti villa. Mess kami hanya berupa rumah tua peninggalan Belanda seakan penuh misteri.

Selama tinggal di Kali Kempit ini banyak kejadian-kejadian yang mungkin tak terlupakan di benakku. Kami terbiasa berjalan berkilo-kilometer diantara hamparan pohon kakao. Tiap hari jam 05.00 pagi kami juga harus briefing. Acara ini merupakan pertemuan antara mandor besar dengan para mandor-mandor lainnya. Jam 05.30, mandor-mandor baru mengabsen para buruh bawahannya. Setelah itu mereka pulang dan makan. Jam 07.00 baru kerja di kebun. Kendala bahasa mungkin tak begitu masalah. Walaupun di Banyuwangi penduduk aslinya memakai bahasa Madura tapi mereka bisa berbahasa Indonesia. Kalaupun antar mereka berbahasa Madura maka kita pun tak mengerti. Jadi kami pun tak tahu jika mereka sedang “ngrasani” kita.

Pengalaman di Kali Kempit memberi kenangan bagiku :

Pertama, di sini belum ada listrik.  Listrik mulai hidup jam 05 sore dan padam jam 05 pagi. Tapi itu juga tidak mesti, listrik kadang juga mati jam 12 malam dan baru hidup lagi jam 3 pagi sampai jam 5. Makanya kita mesti siap-siap bawa lilin kalau sewaktu-waktu listrik mati. Karena jam 5 pagi kita ikut briefing maka kami biasanya bangun jam 4 lalu mandi dan sholat. Awal-awalnya kita bisa bangun pagi tapi lama-lama kita bangun kesiangan. Karena listrik mati jam 5 maka dengan hanya modal lilin kecil kita seperti orang buta, kita mencari-cari baju, sepatu bahkan bedak. Selain itu, kalau listrik hidup, teman-teman pada rebutan mencharge  hape masing-masing. Wah serunya..

Kedua, di Kali kempit ini kita pertama terkaget-kaget karena tiap pagi sehabis briefing kita sudah disuguhi the hangat dalam cangkir di meja tamu. Setelah itu, kalau kita makan, hidangan sudah tersedia rapi di meja makan lengkap dengan piring, sendok , dan gelas air putih yang telah tersusun rapi bak kita seperti makan di restoran mewah. Wah wah wah..

Ketiga,  kita kurang hiburan. Kita seperti terisolasi. Ada televisi sih tapi televisi lama, layar masih hitam putih dan gambarnya banyak semutnya alias tidak jelas sama sekali. Untung Cheche bawa radio. Hiburan kami cuma radio yang dibawa Cheche. Itupun dengernya pas ada listrik.

Keempat, di kebun  kita juga pernah naik traktor rame-rame. Satu traktor lima orang. Padahal ketentuannya traktor itu hanya muat dua orang aja. Kita seneng naik traktor daripada jalan kaki.  Kita cuek aja dilihat banyak orang. Beginilah  kalau orang kota masuk desa. Udik banget.. dan pastinya sopir traktor seneng banget dikerubuti 4 cewek cantik J

Kelima, ini pengalaman yang tak terlupakan. Kita pernah jalan kaki  hampir 1,5 kilo pada malam hari di tengah-tengah hutan kakao hanya bermodal senter kecil. Suasana gelap banget, di sepanjang kebun tidak ada lampu sama sekali. Sore itu, kami maen ke tempat asisten mandor besar, pak Didik namanya. Kita pamit setelah sholat maghrib. Sebenarnya pak Didik juga tidak tega kita pulang tapi tidak mungkin kita juga menginap di rumah pak Didik. Kita keluar dari rumah pak Didik biasa aja masih bisa ketawa ketiwi tapi setelah melewati jembatan suasana jadi lain. Tiba-tiba teman-teman pada diam. Nuning yang kebetulan di sebelahku tiba-tiba memegang tanganku erat-erat. Aku bingung apa yang terjadi. Perasaanku jadi tak enak. Apalagi aku berjalan paling pinggir sebelah kiri dekat dengan rimbunan pohon. Sunyi, sepi dan gelap. Suara yang terdengar hanya langkah-langkah kaki. Suasana menegangkan. Perjalanan terasa lama..
Akhirnya secercah cahaya mulai muncul, aku lega. Berarti sebentar lagi kita sampai di mess. Nuning mulai melepaskan tanganku, kami masih terdiam. Sampai akhirnya di kamar, Cheche mulai cerita. Setelah melewati jembatan dia merasa ada “sesuatu” yang mengikuti jalan kita. Hiiyyyy….
Cerita cheche membuat kita semua takut. Untung besok pagi kita sudah cabut dari Kali kempit. Malam itu kami cepat-cepat berkemas-kemas dan berharap agar malam cepat berlalu.
Esoknya, kita cerita ke Pak Didik tentang kejadian nightmare tadi malam. Ternyata benar, kata Pak Didik dari cerita orang-orang juga, memang di bawah jembatan itu  ada “penunggunya”. Makanya Pak Didik salut pada kita yang berani malam-malam pulang sendiri. Pak Didik juga cerita tentang tempat-tempat yang angker seperti mess kami dan pohon sukun deket mess. Wah.. kita langsung kaget. Selama dua minggu tinggal, kita merasa biasa-biasa saja tidak ada hal yang aneh. Memang pernah satu kali, aku dan Nuning malam-malam ada di dapur. Kita dengar ada suara air jatuh padahal waktu itu kita lagi tidak menyalakan pompa air. Karena aneh, aku dan Nuning saling pandang dan langsung cabut.. !! Lari ke dalam rumah. Soal pohon sukun kita juga rasa tidak ada yang aneh. Kita memang kadang keluar malam-malam ke tempat pak mandor besar sekedar konsultasi. Jalan ke tempat pak mandor itu melewati pohon sukun yang memang cukup besar tapi selama itu kita biasa-biasa aja. Dulu berdasarkan cerita memang mess kami rada angker. Yang tidur di mess biasanya “diganggu”. Tapi itu dulu waktu belum ada masjid. Teman-teman kelompok lain yang pernah nginap katanya juga merasa ada hal yang aneh di mess. Kalau malam mereka seperti mendengar suara anak kecil lagi mainan batu atau ada temen yang merasa waktu tidur malam ada yang mendekapnya. Kata teman juga lukisan pangeran Diponegoro yang ada di rung tamu itu juga aneh. Kalau lukisan itu kita lihat lama maka mata Diponegoro seperti hidup dan melihat kita. Hiyyy yang kedua kali ;-)
Tapi alhamdulillah, kita tidak terpengaruh. Kita merasa tidak ada yang yang mengganggu kami baik yang terlihat maupun yang tak terlihat. Akhirnya kita meninggalkan Kali Kempit dengan damai.


Jumat, 07 Juni 2013

Review Buku


Karmaka Surjaudaja? Siapa tuh ? Ga terkenal kan. Pertama itu yang terlintas di pikiranku sewaktu melihat cover buku ”Tidak Ada yang Tidak Bisa”, sebuah buku biografi karya Dahlan Iskan. Apa sih istimewa orang ini sampai Pak DI menulis tentang kisah hidupnya. Dan saat di perpustakaan akhirnya aku bisa juga meminjam buku ini. Pertama ingin membaca buku ini karena ini buku best seller yang biasanya isinya pasti lumayan bagus dan yang kedua buku ini karya Pak Dahlan yang tulisannya biasa  menarik untuk dibaca. Awal-awal cerita cukup menarik dan lama-lama.. Wow amazing. Sebuah kisah hidup yang cukup menegangkan dan mengharukan.  Kisah bos bank NISP yang mengharu biru ini membuat kita tersadar bahwa hidup adalah perjuangan. Tidak ada yang instan bila ingin sukses.  Kegagalan pasti ada. Semua butuh proses untuk sukses. Karmaka yang dari muda telah berjuang untuk orang-orang didekatnya yang dia sayangi yaitu keluarganya. Karmaka yang juga rela mengkorbankan diri untuk sebuah amanat dari mertuanya, meneruskan bank NISP akan tetap berdiri sampai darah penghabisan. Beliau tidak ingin NISP hancur karena beliau tidak ingin mengecewakan mertuanya dan karyawan NISP. Beliau sangat sayang kepada karyawannya sehingga tak ingin karyawannya kehilangan pekerjaan.
Kisah karmaka memang menguras hati. Kok ada hidup orang yang dari kecil hidup susah dan banyak ujian di sepanjang hidupnya. Seorang Karmaka yang bekerja keras, punya prinsip, memperhatikan dan berkorban untuk orang. Selain itu, Karmaka adalah orang yang punya banyak nyawa. Sudah 2 kali lolos dari target pembunuhan dan 2 kali ga mati ketika coba mau bunuh diri. Dari kelolosan kematiannya akhirnya Karmaka tersadar bahwa beliau masih disayang Tuhan. Karena Tuhan tahu bahwa sebenarnya Karmaka adalah orang baik.
Buku “Tidak ada yang tidak bisa” merupakan buku yang patut dibaca karena sangat inspiratif. Buku yang merupakan semangat bagi kita (khususnya aku) saat kita selalu mengeluh tentang kehidupan ini. Hidup ini indah. Ayo kita nikmati !  Semangat, kakak !!! J