Pertama
mendengar Kali
Kempit, rasanya aneh.
Kali Kempit merupakan
salah satu daerah di Banyuwangi. Dan aku tak menyangka akan terdampar di
Banyuwangi ini. Aku ke kota ini karena kebetulan waktu itu aku ikut pelatihan
dan akhir dari pelatihan ini aku harus
magang di perkebunan daerah Banyuwangi. Aku tak begitu mengenal kota
ini. Setauku, Banyuwangi ada di ujung timur propinsi Jawa Timur. Berbatasan
laut dengan pulau Bali.
Setelah menempuh perjalanan naik bus Akas dari Yogya hampir
12 jam kita mampir dulu di Jember. Dari Jember kita naik lagi mobil menuju
Banyuwangi. Siang itu hari Senin jam 14.00, kami
sampai di Banyuwangi.
Waktu itu hujan baru saja turun, tanah masih basah. Kami berempat Cheche,
Nuning, Eko nur dan aku mampir dulu di kantor perkebunan Kali kempit. Setelah kami
menghadap wakil pimpinan kebun kami diantar ke mess, tempat kami menginap.
Kantor kebun memang terletak di pinggir jalan tapi mess kami letaknya jauh dari
jalan. Perjalanan menuju mess kami melewati perumahan penduduk setelah itu kami
hanya melewati lahan kosong yang sangat luas. Setelah itu baru kami melewati
perkebunan kakao. Tibalah kami di mess. Mess kami sebenarnya tidak jauh dari rumah
penduduk para buruh kebun dan rumah mandor besar tapi karena mess halamannya
sangat luas makanya rasanya mess kami menyendiri. Mess kami itu seperti rumah, ada 3 kamar, ada
ruang tamu, ruang makan, kamar mandi dan dapur. Halaman rumahnya sangat indah
karena banyak tanaman-tanaman hias. Jika aku keluar rumah, aku merasa mess kami
seperti villa. Mess kami hanya berupa rumah tua peninggalan Belanda seakan
penuh misteri.
Selama tinggal di Kali Kempit ini banyak kejadian-kejadian
yang mungkin tak terlupakan di benakku. Kami terbiasa berjalan berkilo-kilometer diantara hamparan
pohon kakao. Tiap hari jam 05.00 pagi kami juga harus briefing. Acara ini merupakan pertemuan antara mandor besar dengan
para mandor-mandor lainnya. Jam 05.30, mandor-mandor baru mengabsen para buruh
bawahannya. Setelah itu mereka pulang dan makan. Jam 07.00 baru kerja di kebun. Kendala bahasa mungkin tak begitu masalah. Walaupun di
Banyuwangi penduduk aslinya memakai bahasa Madura tapi mereka bisa berbahasa
Indonesia. Kalaupun antar mereka berbahasa Madura maka kita pun tak mengerti.
Jadi kami pun tak tahu jika mereka sedang “ngrasani” kita.
Pengalaman
di Kali Kempit memberi kenangan
bagiku :
Pertama,
di sini belum ada listrik. Listrik mulai hidup jam 05 sore dan
padam jam 05 pagi. Tapi itu juga tidak mesti, listrik kadang juga mati jam
12 malam dan baru hidup lagi jam 3 pagi sampai jam 5. Makanya kita mesti
siap-siap bawa lilin kalau sewaktu-waktu listrik mati. Karena jam 5 pagi
kita ikut briefing maka kami biasanya
bangun jam 4 lalu mandi dan sholat. Awal-awalnya kita bisa bangun pagi tapi
lama-lama kita bangun kesiangan. Karena listrik mati jam 5 maka dengan hanya
modal lilin kecil kita seperti orang buta, kita mencari-cari baju, sepatu bahkan
bedak. Selain itu, kalau listrik hidup, teman-teman pada rebutan mencharge hape masing-masing. Wah serunya..
Kedua,
di Kali kempit ini kita
pertama terkaget-kaget karena tiap pagi sehabis briefing kita sudah disuguhi the hangat dalam cangkir di meja tamu.
Setelah itu, kalau kita makan, hidangan sudah tersedia rapi di meja makan lengkap
dengan piring, sendok , dan gelas air putih yang telah tersusun rapi bak kita
seperti makan di restoran mewah. Wah wah wah..
Ketiga, kita kurang hiburan. Kita seperti terisolasi.
Ada televisi sih tapi televisi lama, layar masih hitam putih dan gambarnya banyak
semutnya alias tidak
jelas sama sekali. Untung Cheche
bawa radio. Hiburan kami cuma radio yang dibawa Cheche. Itupun dengernya pas ada
listrik.
Keempat,
di kebun kita juga pernah naik traktor
rame-rame. Satu traktor lima orang. Padahal ketentuannya traktor itu hanya muat
dua orang aja. Kita seneng naik traktor daripada jalan kaki. Kita cuek aja dilihat banyak orang. Beginilah kalau orang kota masuk desa. Udik banget.. dan pastinya sopir traktor seneng banget dikerubuti 4
cewek cantik J
Kelima,
ini pengalaman yang tak terlupakan. Kita pernah jalan kaki hampir 1,5 kilo pada malam hari di
tengah-tengah hutan kakao hanya bermodal senter kecil. Suasana gelap banget, di
sepanjang kebun tidak ada
lampu sama sekali. Sore itu, kami maen ke tempat asisten mandor besar, pak Didik
namanya. Kita pamit setelah sholat maghrib. Sebenarnya pak Didik juga tidak tega kita pulang
tapi tidak mungkin kita juga
menginap di rumah pak Didik. Kita keluar dari rumah pak Didik biasa aja masih
bisa ketawa ketiwi tapi setelah melewati jembatan suasana jadi lain. Tiba-tiba
teman-teman pada diam. Nuning yang kebetulan di sebelahku tiba-tiba memegang
tanganku erat-erat. Aku bingung apa yang terjadi. Perasaanku jadi tak enak. Apalagi
aku berjalan paling pinggir sebelah kiri dekat dengan rimbunan pohon. Sunyi, sepi dan gelap.
Suara yang terdengar hanya langkah-langkah kaki. Suasana menegangkan.
Perjalanan terasa lama..
Akhirnya
secercah cahaya mulai muncul, aku lega. Berarti sebentar lagi kita sampai di mess.
Nuning mulai melepaskan tanganku, kami masih terdiam. Sampai akhirnya di kamar,
Cheche mulai cerita.
Setelah melewati jembatan dia merasa ada “sesuatu” yang mengikuti jalan kita.
Hiiyyyy….
Cerita
cheche membuat kita semua takut. Untung besok pagi kita sudah cabut dari Kali kempit. Malam itu kami
cepat-cepat berkemas-kemas dan berharap agar malam cepat berlalu.
Esoknya, kita cerita ke Pak Didik tentang
kejadian nightmare tadi malam.
Ternyata benar, kata Pak
Didik dari cerita
orang-orang juga, memang di bawah jembatan itu ada “penunggunya”. Makanya Pak Didik salut
pada kita yang berani malam-malam pulang sendiri. Pak Didik juga cerita tentang
tempat-tempat yang angker seperti mess kami dan pohon sukun deket mess. Wah..
kita langsung kaget. Selama dua minggu tinggal, kita merasa biasa-biasa saja
tidak ada hal yang aneh. Memang pernah satu kali, aku dan Nuning malam-malam ada
di dapur. Kita dengar ada suara air jatuh padahal waktu itu kita lagi tidak menyalakan pompa air. Karena aneh, aku
dan Nuning saling pandang dan langsung cabut.. !! Lari ke dalam rumah.
Soal pohon sukun kita juga rasa tidak ada yang aneh. Kita memang kadang
keluar malam-malam ke tempat pak mandor besar sekedar konsultasi. Jalan ke
tempat pak mandor itu melewati pohon sukun yang memang cukup besar tapi selama itu
kita biasa-biasa aja. Dulu berdasarkan cerita memang mess kami rada angker.
Yang tidur di mess biasanya “diganggu”. Tapi itu dulu waktu belum ada masjid.
Teman-teman kelompok lain yang
pernah nginap katanya juga merasa ada hal yang aneh di mess. Kalau malam mereka
seperti mendengar suara anak kecil lagi mainan batu atau ada temen yang merasa
waktu tidur malam ada yang mendekapnya. Kata teman juga lukisan pangeran Diponegoro
yang ada di rung tamu itu juga aneh. Kalau lukisan itu kita lihat lama maka
mata Diponegoro seperti hidup dan melihat kita. Hiyyy yang kedua kali ;-)
Tapi
alhamdulillah, kita tidak terpengaruh. Kita merasa tidak ada yang yang
mengganggu kami baik yang terlihat maupun yang “tak
terlihat”. Akhirnya kita meninggalkan Kali Kempit dengan damai.
Huaaa...serem Nuuuur...
BalasHapus