Selasa, 11 Juni 2013

Banyuwangi (1)


Pertama mendengar Kali Kempit, rasanya aneh. Kali Kempit merupakan salah satu daerah di Banyuwangi. Dan aku tak menyangka akan terdampar di Banyuwangi ini. Aku ke kota ini karena kebetulan waktu itu aku ikut pelatihan dan akhir dari pelatihan ini aku harus  magang di perkebunan daerah Banyuwangi. Aku tak begitu mengenal kota ini. Setauku, Banyuwangi ada di ujung timur propinsi Jawa Timur. Berbatasan laut dengan pulau Bali.

Setelah menempuh perjalanan naik bus Akas dari Yogya hampir 12 jam kita mampir dulu di Jember. Dari Jember kita naik lagi mobil menuju Banyuwangi. Siang itu hari Senin jam 14.00, kami sampai di Banyuwangi. Waktu itu hujan baru saja turun, tanah masih basah. Kami berempat Cheche, Nuning, Eko nur dan aku mampir dulu di kantor perkebunan Kali kempit. Setelah kami menghadap wakil pimpinan kebun kami diantar ke mess, tempat kami menginap. Kantor kebun memang terletak di pinggir jalan tapi mess kami letaknya jauh dari jalan. Perjalanan menuju mess kami melewati perumahan penduduk setelah itu kami hanya melewati lahan kosong yang sangat luas. Setelah itu baru kami melewati perkebunan kakao. Tibalah kami di mess. Mess kami sebenarnya tidak jauh dari rumah penduduk para buruh kebun dan rumah mandor besar tapi karena mess halamannya sangat luas makanya rasanya mess kami menyendiri.  Mess kami itu seperti rumah, ada 3 kamar, ada ruang tamu, ruang makan, kamar mandi dan dapur. Halaman rumahnya sangat indah karena banyak tanaman-tanaman hias. Jika aku keluar rumah, aku merasa mess kami seperti villa. Mess kami hanya berupa rumah tua peninggalan Belanda seakan penuh misteri.

Selama tinggal di Kali Kempit ini banyak kejadian-kejadian yang mungkin tak terlupakan di benakku. Kami terbiasa berjalan berkilo-kilometer diantara hamparan pohon kakao. Tiap hari jam 05.00 pagi kami juga harus briefing. Acara ini merupakan pertemuan antara mandor besar dengan para mandor-mandor lainnya. Jam 05.30, mandor-mandor baru mengabsen para buruh bawahannya. Setelah itu mereka pulang dan makan. Jam 07.00 baru kerja di kebun. Kendala bahasa mungkin tak begitu masalah. Walaupun di Banyuwangi penduduk aslinya memakai bahasa Madura tapi mereka bisa berbahasa Indonesia. Kalaupun antar mereka berbahasa Madura maka kita pun tak mengerti. Jadi kami pun tak tahu jika mereka sedang “ngrasani” kita.

Pengalaman di Kali Kempit memberi kenangan bagiku :

Pertama, di sini belum ada listrik.  Listrik mulai hidup jam 05 sore dan padam jam 05 pagi. Tapi itu juga tidak mesti, listrik kadang juga mati jam 12 malam dan baru hidup lagi jam 3 pagi sampai jam 5. Makanya kita mesti siap-siap bawa lilin kalau sewaktu-waktu listrik mati. Karena jam 5 pagi kita ikut briefing maka kami biasanya bangun jam 4 lalu mandi dan sholat. Awal-awalnya kita bisa bangun pagi tapi lama-lama kita bangun kesiangan. Karena listrik mati jam 5 maka dengan hanya modal lilin kecil kita seperti orang buta, kita mencari-cari baju, sepatu bahkan bedak. Selain itu, kalau listrik hidup, teman-teman pada rebutan mencharge  hape masing-masing. Wah serunya..

Kedua, di Kali kempit ini kita pertama terkaget-kaget karena tiap pagi sehabis briefing kita sudah disuguhi the hangat dalam cangkir di meja tamu. Setelah itu, kalau kita makan, hidangan sudah tersedia rapi di meja makan lengkap dengan piring, sendok , dan gelas air putih yang telah tersusun rapi bak kita seperti makan di restoran mewah. Wah wah wah..

Ketiga,  kita kurang hiburan. Kita seperti terisolasi. Ada televisi sih tapi televisi lama, layar masih hitam putih dan gambarnya banyak semutnya alias tidak jelas sama sekali. Untung Cheche bawa radio. Hiburan kami cuma radio yang dibawa Cheche. Itupun dengernya pas ada listrik.

Keempat, di kebun  kita juga pernah naik traktor rame-rame. Satu traktor lima orang. Padahal ketentuannya traktor itu hanya muat dua orang aja. Kita seneng naik traktor daripada jalan kaki.  Kita cuek aja dilihat banyak orang. Beginilah  kalau orang kota masuk desa. Udik banget.. dan pastinya sopir traktor seneng banget dikerubuti 4 cewek cantik J

Kelima, ini pengalaman yang tak terlupakan. Kita pernah jalan kaki  hampir 1,5 kilo pada malam hari di tengah-tengah hutan kakao hanya bermodal senter kecil. Suasana gelap banget, di sepanjang kebun tidak ada lampu sama sekali. Sore itu, kami maen ke tempat asisten mandor besar, pak Didik namanya. Kita pamit setelah sholat maghrib. Sebenarnya pak Didik juga tidak tega kita pulang tapi tidak mungkin kita juga menginap di rumah pak Didik. Kita keluar dari rumah pak Didik biasa aja masih bisa ketawa ketiwi tapi setelah melewati jembatan suasana jadi lain. Tiba-tiba teman-teman pada diam. Nuning yang kebetulan di sebelahku tiba-tiba memegang tanganku erat-erat. Aku bingung apa yang terjadi. Perasaanku jadi tak enak. Apalagi aku berjalan paling pinggir sebelah kiri dekat dengan rimbunan pohon. Sunyi, sepi dan gelap. Suara yang terdengar hanya langkah-langkah kaki. Suasana menegangkan. Perjalanan terasa lama..
Akhirnya secercah cahaya mulai muncul, aku lega. Berarti sebentar lagi kita sampai di mess. Nuning mulai melepaskan tanganku, kami masih terdiam. Sampai akhirnya di kamar, Cheche mulai cerita. Setelah melewati jembatan dia merasa ada “sesuatu” yang mengikuti jalan kita. Hiiyyyy….
Cerita cheche membuat kita semua takut. Untung besok pagi kita sudah cabut dari Kali kempit. Malam itu kami cepat-cepat berkemas-kemas dan berharap agar malam cepat berlalu.
Esoknya, kita cerita ke Pak Didik tentang kejadian nightmare tadi malam. Ternyata benar, kata Pak Didik dari cerita orang-orang juga, memang di bawah jembatan itu  ada “penunggunya”. Makanya Pak Didik salut pada kita yang berani malam-malam pulang sendiri. Pak Didik juga cerita tentang tempat-tempat yang angker seperti mess kami dan pohon sukun deket mess. Wah.. kita langsung kaget. Selama dua minggu tinggal, kita merasa biasa-biasa saja tidak ada hal yang aneh. Memang pernah satu kali, aku dan Nuning malam-malam ada di dapur. Kita dengar ada suara air jatuh padahal waktu itu kita lagi tidak menyalakan pompa air. Karena aneh, aku dan Nuning saling pandang dan langsung cabut.. !! Lari ke dalam rumah. Soal pohon sukun kita juga rasa tidak ada yang aneh. Kita memang kadang keluar malam-malam ke tempat pak mandor besar sekedar konsultasi. Jalan ke tempat pak mandor itu melewati pohon sukun yang memang cukup besar tapi selama itu kita biasa-biasa aja. Dulu berdasarkan cerita memang mess kami rada angker. Yang tidur di mess biasanya “diganggu”. Tapi itu dulu waktu belum ada masjid. Teman-teman kelompok lain yang pernah nginap katanya juga merasa ada hal yang aneh di mess. Kalau malam mereka seperti mendengar suara anak kecil lagi mainan batu atau ada temen yang merasa waktu tidur malam ada yang mendekapnya. Kata teman juga lukisan pangeran Diponegoro yang ada di rung tamu itu juga aneh. Kalau lukisan itu kita lihat lama maka mata Diponegoro seperti hidup dan melihat kita. Hiyyy yang kedua kali ;-)
Tapi alhamdulillah, kita tidak terpengaruh. Kita merasa tidak ada yang yang mengganggu kami baik yang terlihat maupun yang tak terlihat. Akhirnya kita meninggalkan Kali Kempit dengan damai.


1 komentar: