Sabtu, 29 Juni 2013

Hidup adalah Belajar


Belajar bersyukur mesti tak cukup
Belajar ikhlas meski tak rela
Belajar taat meski berat
Belajar memahami meski tak sehati
Belajar sabar meski terbebani
Belajar setia meski tergoda
Belajar memberi meski tak seberapa
Belajar mengasihi meski tersakiti
Belajar tenang meski gelisah
Belajar percaya meski curiga
Belajar dan terus belajar....

Selamat belajar !

Rabu, 26 Juni 2013

Dolanan Anak

Belum lama ini mengikuti sebuah acara perpisahan /tutup tahun anak-anak TK. Format acara perpisahan kali ini sedikit berbeda dengan acara perpisahan pada tahun sebelumnya. Tahun ini pentas seni anak  berubah ke format dolanan anak. Jadi anak-anak terutama anak kelas B, semua ikut serta dalam dolanan anak ini. Anak-anak akan berbicara dalam bahasa jawa yang diselingi nyanyian dan tarian .  Iringan musiknya pun cukup dari kentongan bambu yang dimainkan anak-anak putra. Cukup menarik juga. Salut pada para ibu guru yang mempunyai ide cemerlang ini. Hal ini membuktikan bahwa anak sekarang perlu tahu tentang dolanan anak jaman dahulu sekalian memperkenalkan bahasa jawa. Buktinya anak sekarang tidak tahu angka dalam bahasa jawa. Aku yang melatih hitungan cukup kewalahan saat menerangkan angka dalam bahasa jawa. Saat di kelas mereka pintar berhitung tapi saat hitungan basa jawa. Semua macet. Mereka pasti bertanya “ Lorikur ki piro to Bu ? atau pitungpuluh enem tuh berapa ? Wadeeww.. Akhirnya supaya anak-anak mengerti, angka diucapkan dalam bahasa Indonesia. Ga matching sih tapi tak apa daripada acara tak lancar gara-gara angka. Maklum lah mereka anak-anak kalangan menengah ke atas yang mungkin jarang diajari bahasa jawa selain itu mereka juga masih kecil perlu waktu untuk belajar bahasa jawa.
Dolanan anak cukup menarik untuk diangkat. Karena anak-anak jaman sekarang lebih tertarik games komputer. Bahkan dengan teknologi yang lebih canggih, anak-anak cukup main games di tablet milik ortunya yang dapat dibawa kemana-mana. Dan alhamdullilah masa kecilku, aku masih mengenal dolanan anak yang mungkin sekarang sudah menghilang seperti bekelan, dakon, dhelik-dhelikan (petak umpet), gobag sodor,  engklek, lompat tali pake karet gelang, ular naga panjangnya. Untuk yang cowok ada nekeran (bermain kelereng) dan benthik. Aku juga pernah main cublak-cublak suweng dengan kakak-kakakku. Ah, sungguh indah memang masa kecil itu.
Dan permainan jaman dulu lebih mengadalkan aspek sosial karena permainan jaman dulu perlu banyak orang sehingga anak mudah berinteraksi  dan menyehatkan karena banyak gerak. Selain itu, dolanan anak tidak sekadar menghadirkan kebahagiaan pada anak-anak karena juga bisa memberikan berbagai kecakapan dan keterampilan tumbuh dalam diri anak secara alami. Permainan itu melatih anak dalam bersosialisasi, berkomunikasi, dan menghaluskan budi.
 Beda dengan permainan jaman sekarang yang lebih individualis. Anak-anak era sekarang lebih sering terlihat serius di depan televisi, komputer, gadget dengan aneka game, dibanding bermain di halaman rumah bersama teman-teman. Artinya mereka jarang berinteraksi dengan sebaya. Perkembangan teknologi membuat mereka tumbuh menjadi makhluk individual. Mereka seolah tidak membutuhkan orang lain. Mereka dapat menciptakan dunianya sendiri dengan imajinasi yang mereka peroleh dari berbagai permainan bagian dari fitur produk berteknologi canggih yang memanjakan kehidupan. Selain melunturkan seni tradisi yang sarat ajaran adiluhung, permainan modern dapat membentuk karakter negatif dalam diri anak. Mereka menjadi individualistis, menyimpang dari kodratnya sebagai makhluk sosial.
Dolanan tradisional anak yang menjadi primadona pada zamannya, kini tinggal kenangan karena terimpit kemajuan teknologi. Pada satu sisi teknologi memang menciptakan kemudahan dan rasa nyaman bagi manusia namun pada sisi lain, kenyamanan itu dapat menjadi bumerang bagi anak-anak. Adanya  perkembangan dan kemajuan teknologi tidak seharusnya melunturkan budaya, justru sebaliknya harus bisa membuat budaya berkembang kian pesat.
Kepunahan dolanan anak yang merupakan bagian dari budaya tradisonal yang adiluhung, sesungguhnya bukan semata-mata lantaran kepesatan perkembangan teknologi. (sumber: google.com)

Minggu, 23 Juni 2013

Belajar dari Bu Een

Ibu satu ini pertama kali aku melihatnya saat peringatan hari pendidikan nasional tanggal 2 Mei yang lalu, saat salah satu televisi swasta memperlihatkan salah satu figur inspirasi di bidang pendidikan. Dan ternyata sosok ibu ini ada muncul lagi di televisi karena beliau merupakan salah satu peraih special award dalam ajang Liputan 6 Awards. Dan sekitar awal juni, ibu ini sempat bertemu pak SBY di istana kepresidenan dengan tetap berbaring di tempat tidur.
Dialah bu Een Sukaesih, aku ingin mengangkat tokoh ini karena kebetulan tak jauh dari dunia pendidikan. Aku ingin bercermin pada Bu Een. Seperti ucapannya yang masih kuingat, “ Saya mungkin mengajar dengan tak banyak ilmu tapi saya mengajar dengan kasih sayang.”
Ada banyak alasan bagi Een Sukaesih untuk meratapi hidupnya. Hampir 28 tahun ia hanya bisa berbaring tak berdaya akibat penyakit radang sendi (rheumatoid arthritis) yang ia derita. Tapi Een tak menyerah. Perempuan 50 tahun itu memilih terus bertahan hidup, melakukan apa yang ia bisa untuk sesama dengan cara mendidik anak-anak. Bagi Bu Een, ada banyak alasan untuk tetap kuat: nafas yang masih dihirup, bibir yang masih bisa bertutur, ingatan yang tajam. Juga inspirasi dari banyak orang.
      Salah satunya, Jenderal Soedirman, Sang Panglima Besar. "Jenderal Soedirman dan saya sama-sama sakit. Saya pernah nonton Film 'Janur Kuning', di situ ada tokoh Jenderal Soedirman yang sedang sakit parah, sakit paru-paru tapi beliau masih bisa ditandu dan berjuang mengusir penjajah," ujar Een saat ditemui Liputan6.com di kediamannya di RT 01 RW 06 Dusun Dusun Batukarut, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
       Een berpendapat, tidak semua orang dapat melakukan apa yang dilakukan Jenderal Soedirman. Meski dalam kesulitan, ia tetap berjuang dengan tulus untuk negeri ini.
"Makanya saya masih suka kebayang Jenderal Soedirman, batuk-batuk tapi masih bisa pimpin perjuangan, Subhanallah.. Nggak semua orang bisa. Banyak inspirasi perjuangan dari beliau."
Selain Jenderal Sudriman, sosok pahlawan nasional lain juga turut menginspirasi perjuangan hidupnya selama ini adalah Kartini dan Dewi Sartika.
"Kartini yang sosok perjuangan luar biasa, pahlawan wanita, kalau laki-laki mungkin dianggap biasa. Begitu juga Dewi Sartika. Harta benda beliau habis buat pendidikan. Makanya kalau saya punya uang kenapa nggak bisa seperti Dewi Sartika," kata Een. "Dewi Sartika juga berjuang untuk Jawa Barat, itu hebat."
      Tak hanya itu, ketauladanan para nabi juga turut menyuntik semangat hidupnya. Seperti Nabi Ayub yang hampir serupa dengan apa yang dialaminya sekarang ini. "Terutama Nabi Ayub yang diberi cobaan sakit, hanya disisakan lidah dan hatinya. Sampai dicoba lewat istrinya, sakit yang sangat membuat orang menderita tapi Nabi Ayub akhirnya sembuh," ungkap Een. "Saya suka baca sejarah Nabi Ayub dan baca doa Nabi Ayub. Barangkali ada mukjizat seperti Nabi Ayub," harap dia.
       Mantan calon pegawai negeri sipil, Een Sukaesih mengaku cukup kaget saat menerima sejumlah penghargaan. Karena selama ini tak pernah terbesit di pikiran Een untuk mendapat penghargaan. Menurutnya penghargaan yang diterimanya itu merupakan amanah yang harus diemban.
       Berbagai penghargaan di bidang pendidikan yang telah disandang Een. Misalnya, pengahargaan Peraih PR Award 2013 dari Pikiran Rakyat, Teacher Award 2012 dari Komunitas Guru Jawa Barat sebagai 'Guru Sejati', Kartini Award 2012 sebagai perempuan Indonesia terinspiratif bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Kemudian penghargaan dari Kabupaten Sumedang sebagai tokoh masyarakat di bidang pendidikan 2013, penghargaan Universitas Pendidikan Indonesia kategori Pelopor dan Unggul. Lalu penghargaan dari Bank Mandiri Syariah BSM Edu Award, penghargaan Sumedang Motekar, Dompet Duafa Award bidang pemberdayaan pendidikan, dan Liputan 6 Special Award 2013.

Sumber : Liputan6.com